Oleh : Friska
yolandha
Pesatnya
pertumbuhan industri syariah meningkatkan tekanan bagi industry tersebut untuk
mkemasuki arus utama akuntansi, dengan mengikuti bimbingan dari standar
akuntansi internasional (IASB). Padahal, IASB merupakan penetapan pembukuan
keuangan konvensial. Hal ini akan menjadi langkah yang kontrovensial. Dengan
mendasarkan diri pada prinsip agama, perbankan syariah berusaha untuk berdiri
di atas kaki sendiri, terpisah dari perbankan kontrovensial. Namun , beberapa
pakar berpikir, industri ini berkembang begitu pesatnya sehingga tidak bisa
lagi duduk nyaman di luar harmonisasi aturan akuntansi di seluruh dunia.
Pelaporan
keuangan yang terjadi di seluruh dunia saat ini merupakan langkah global menuju
sebuah standar pelaporan keuangan berkualitas tinggi, “ujar direktur jasa
keuangan sebuah perusahaan akuntansi raksasa KPMG, samer hijazi, seperti
dilansir laman reuters, Ahad (8/4).
Hijazi
yang juga memantau perkembangan perbankan syariah mengungkapkan, pada 2011 aset
keuangan perbankan syariah 1,3 triliun dolar AS. Jumlah ini meningkat 150
persen selama lima tahun terkahir, saat industri ini meluas ke Negara-negara
baru di luar pasar inti di timur tengah dan Malaysia.
Saat ini,
industri syariah tetap di atur oleh tambal-sulam regulator nasional. Standar
syariah menurut para ulama, memiliki dasar hokum yang berbeda, begitu pula
dengan praktiknya. Hal ini
menciptakan kebingungan di kalangan investor, terutama saat bank-bank besar
barat mulai memasuki pasar ini.
Sebagian
besar Negara yang memiliki perbankan syariah telah menerapkan standar pelaporan
keuangan internasional (IFRS) yang di keluarkan oleh IASB. Namun, standar ini
dikembangkan oleh industry konvensional, bukan untuk di pakai perbankan syariah
yang murni melarang bunga dan spekulasi moneter.
Hal
tersebut berakibat adanya potensi konflik antara perbankan syariah dan aturan
konvensional, Misalnya, untuk mendapatkan kembali keuntungan tanpa menentang
larangan bunga, perbankan syariah membeli aset, seperti rumah atas nama
pelanggan dan menyewakanya hingga si pelanggan mampu memperoleh kepemilikan
rumah tersebut. Di bawah standar IFRS, hijazi mengungkapkan industry syariah
akan di perlakukan sebagai penyedia jasa sewa keuangan, yang membutuhkan bank
untuk merekam sewa sebagai pinjaman dengan bunga produktif.
Hal ini
jelas-jelas bertentangan dengan hokum syariah. “IFRS adalah sesuatu yang
mengungguli bentuk hukum sedangkan syariah lebih banyak tentang kepatuhan
terhadap bentuk hukum,” ujar direktur pricewaterhouse coopers, Andrew Hawkins.
Beberapa
ahli menyebutkan, ada beberapa solusi untuk mengatasi kesenjangan ini.
Asian-oceanian standard setters group (AOSSG) telah mengimbau IASB untuk
melakukan penyusunan standar perbankan syariah pada agendanya. AOSSG juga telah
membentuk sebuah kelompok kerja untuk bekerja sama dengan IASB. Lebih dari tiga
perempat dari 24 badan standart keuangan yang menanggapi survey AOSSG
menyatakan, tidak boleh ada standar akuntansi syariah yang terpisah dari
kerangka IFRS. Ed : Irwan
kelana
Dikutip dari : REPUBLIKA, SELASA 10/04/2012
0 komentar:
Posting Komentar